Pondok Pesantren As Salafi Al Fitrah Surabaya
Pondok Pesantren As Salafi Al Fitrah Surabaya
SEJARAH
Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah didirikan pada tahun 1985 bermula dari
kediaman Hadhratusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy RA. dan mushola.
Pada saat itu ikut serta beberapa santri dari Pondok Pesantren Darul ‘Ubudiyah
Jatipurwo Surabaya yang didirikan dan diasuh Hadhrotusy Syaikh Al Arif
Billah KH. Muhammad Utsman Al Ishaqy ra. Pada
tahun 1990 datanglah beberapa santri dengan kegiatan ‘ubudiyah dan mengaji
secara sorogan & bandongan di mushola.Dalam perkembangannya jumlah anak
yang ingin mengaji dan nyantri semakin banyak sehingga pada tahun 1994
Hadhratusy Syaikh memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantren dan mengatur
pendidikan secara klasikal. Pondok
Pesantren Assalafi Al Fithrah semakin berkembang dan dikenal di masyarakat
secara luas, sehingga banyak masyarakat yang memohon kepada Hadhratusy Syaikh
untuk menerima santri putri. Atas dorongan itulah pada tahun 2003 beliau
membuka pendaftaran santri putri dan terdaftarlah 77 santri putri. Sampai saat
ini tercatat 1070 santri putri, dan seiring animo masyarakat untuk memondokkan
anak sejak usia dini, Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah sebagai wujud
tanggung jawab, maka pada hari Senin 3 Dzulqo’dah 1431 bertepatan 11 Oktober
2010 membuka pondok pesantren usia dini untuk putra dan
putri. Pendidikan di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah di laksanakan
pada pagi dan siang hari, sedangkan pendidikan malam hari diperuntukkan santri
yang tidak menetap atau masyarakat sekitar pondok yang pada pagi harinya
sekolah pendidikan umum diluar pondok.
PROFIL TOKOH
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi
merupakan putera dari Kyai Utsman
Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya.
Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas
tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh
Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan
kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan
Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai
tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa
ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta
Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas
penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid
ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
` Tugas
sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak
pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang
sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret
1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat
kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori
terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan
sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum
dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang
sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak
memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas
politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah
berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang
membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka
bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa
membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan
banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar
luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan
kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan
kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil
mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin
tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang
istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang
sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia
belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di
Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan
kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan
saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib,
yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’
Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian
luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar
semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari
Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah
rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang
lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.
Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wan Naqsabandiyah
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan
putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah
Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota
Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren
Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman
masih keturunan Sunan Giri.
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan
putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah
Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota
Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren
Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama
Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman
masih keturunan Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah
keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad
Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah
Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra
13 orang.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah
mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat
Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling
luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan
Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal
Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori
meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Konon, almarhum KH. Utsman adalah
salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso,
Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki
Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai
Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di
kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai
sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan
Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian
diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon
pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di
tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya,
sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di
kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun
masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi
sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai
2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama
dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan
sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang
mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik
dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5
hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan
santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak
pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang
belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses
pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori,
keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di
samping kapasitas keilmuan tentunya.
Nama: Nourma Desika Rahmadani
NIM: 12305183055
Kelas: KPI 1B
biaya dan syaratnya bagaimana
BalasHapus