Mbah Mesir : Tokoh Dibalik Tradisi Syawalan di Durenan Trenggalek

Mbah Mesir : Tokoh Dibalik Tradisi Syawalan di Durenan Trenggalek

            Hari raya Idul Fitri adalah hari raya yang sangat ditunggu – tunggu oleh umat Islam. Dimana hari raya tersebut merupakan hari dimana banyak orang yang melakukan tradisi bermaaf – maafan. Di hari setelah hari raya Idul Fitri ada 6 hari dimana kita di sunnahkan untuk berpuasa yang bernama puasa Syawal. Bagi masyarakat Durenan, Trenggalek, setelah menjalankan puasa sunnah tersebut ada tradisi yang sudah lama dilakukan yaitu tradisi Syawalan / Kupatan. Dimana semua warganya melakukan simakrama ( open house ).
            Tradisi ini bermula ketika banyak masyarakat Durenan, Trenggalek yang mengikuti tradisi dari Mbah Mesir atau Syekh Abdul Mahsyir. Beliau adalah salah satu tokoh yang sangat dihormati masyarakat pada waktu itu. Beliau merupakan putra dari Yahudo, salah satu prajurit perang Diponegoro yang berhasil kabur dari tangkapan Kolonial Belanda ketika Pangeran Diponegoro tertangkap dan diasingkan pada waktu itu. Mbah Mesir berasal dari Lorok, Kabupaten Pacitan, yang mendirikan sebuah pondok pesantren di Desa Durenan, Trenggalek dan menyiarkan ajaran agama  di wilayah Mataraman. Sejumlah pendiri pondok pesantren besar di Jawa Timur, seperti, Lirboyo, Jampes, Ploso, dan lain sebagainya pernah berguru kepada Mbah Mesir.
            Tradisi yang pernah dilakukan Mbah Mesir adalah beliau selalu berpuasa 6 hari setelah hari raya Idul Fitri. Lalu ketika hari raya ke 8 (H+7) beliau diundang oleh Pejabat Belanda agar datang ke pendapa Kabupaten Trenggalek untuk memperbincangkan situasi dan kondisi masyarakat waktu itu. Sementara itu, masyarakat menunggu kedatangan Mbah Mesir di kediamannya di desa Durenan untuk sekedar meminta do’a dan mendengarkan hasil perundingan dengan pemerintah kolonial Belanda. Masyarakat banyak yang datang dikarenakan ketika Mbah Mesir melakukan puasa nyawal beliau tidak menerima tamu. Jadi, masyarakat berkunjung ke rumah Mbah Mesir di hari ke delapan. Setelah berdo’a bersama dan mendengarkan penyampaian perundingan tersebut, mereka menyantap hidangan ketupat. Sebenarnya tujuan menyantap hidangan ketupat adalah ketika setelah puasa sunnah enam hari seharusnya belum terbiasa dengan makanan yang terlalu keras, maka dari itu dibuatkan ketupat yang teksturnya lebih halus. Hidangan tersebut pada awalnya hanya untuk Mbah Mesir karena beliau telah selesai berpuasa sunnah enam hari. Akan tetapi karena ada masyarakat yang datang ke kediaman Mbah Mesir maka hidangan tersebut dibagikan ke para masyarakat yang datang. Karena sudah tradisi masyarakat Jawa bahwa ketika ada tamu yang datang maka kita harus menjamunya dengan baik. Seperti kata pepatah bahwa tamu adalah raja.
            Tradisi tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu. Ketika Indonesia sudah merdeka beliau tetap diundang ke Pendapa Kabupaten Trenggalek. Sudah seperti kebiasaan Bupati Menak Sopal, sebagai Bupati pertama Trenggalek tetap mengundang Mbah Mesir ke Pendapa Kabupaten Trenggalek sekedar hanya untuk merundingkan tentang situasi dan kondisi masyarakat. Yang sebelumnya Mbah Mesir diundang sejak hari ke dua bulan Syawal untuk menunaikan puasa sunnah Syawal bersama. Apalagi beliau berdua merupakan tokoh yang sangat terhormat di Trenggalek. Bupati Menak Sopal juga pernah merasakan berguru kepada salah satu Tokoh Islam.
            Seperti kejadian sebelumnya, para masyarakat juga berduyun – duyun menuju kediaman Mbah Mesir untuk menunggu kedatangan beliau. Sudah menjadi kebiasaan, setelah Mbah Mesir datang maka diadakan do’a bersama dan setelahnya menikmati makanan ketupat bersama – sama. Lambat laun tradisi ini dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Masyarakat selalu menyambut para sanak saudaranya yang hadir ketika hari ke delapan dengan makanan ketupat. Tradisi ini tetap ada walaupun Mbah Mesir sudah meninggal dunia. Bahkan tradisi ini pun malah berkembang lebih pesat dan lebih meriah dari yang sebelumnya. Para masyarakat tentunya tidak lupa dengan jasa Mbah Mesir, banyak para masyarakat yang tetap mengunjungi makan Mbah Mesir di hari raya ke delapan. Bahkan di jalan masuk menuju makam Mbah Mesir banyak pedagang souvenir untuk sekedar mencari rezeki dengan memanfaatkan para peziarah yang datang.
            Pernah suatu ketika cucu dari Mbah Mesir KH Muhammad Hasan mendengar usulan agar tradisi tersebut dikemas dalam bentuk pengajian bersama dengan menggandeng beberapa sponsor, tapi beliau menolak. Alasannya adalah beliau takut tradisi seperti ini akan hilang jika dikemas seperti itu. Sekarang tradisi ini sangat populer di daerah Trenggalek bahkan luar Trenggalek. Ketika hari raya ke delapan ini datang maka jalan – jalan di Durenan yang biasanya sangat lenggang maka akan menjadi sangat ramai bahkan bisa menimbulkan macet sekitar 2 kilo meter. Tidak hanya jalan besar yang ramai bahkan jalan – jalan kecil malah lebih ramai dari biasanya. Apalagi jalur ini adalah jalur utama yang menghubungkan Trenggalek dan Tulungagung, dan jalur ini merupakan jalur menuju daerah wisata Trenggalek seperti Pantai Prigi, Pantai Pasir Putih Karanggongso, Gowa Lawa dan lain – lain.
            Saat ini tradisi ini telah berkembang banyak. Banyak para masyarakat yang bukan berasal dari desa Durenan singgah ke tradisi itu bahkan orang yang tidak mempunyai sanak saudara di sana juga menyempatkan diri untuk singgah. Banyak juga daerah – daerah lain di Trenggalek yang menjalankan tradisi ini. Seperti di daerah desa Kelutan yang letaknya tidak jauh dari daerah kota. Di sana bahkan banyak menyajikan hiburan – hiburan yang menarik. Tradisi ini menjadi semacam acara rutin tahunan yang tidak banyak daerah lain yang memiliki.


Nama   : Alfi Fauziyah
NIM    : 12305183056
Kelas   :  Komunikasi dan Penyiaran Islam 1 – B

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASUK DI KABUPATEN MADIUN

Sejarah Perkembangan Islam Di Jombang