SEJARAH PERADABAN ISLAM MASUK DI KABUPATEN MADIUN
SEJARAH PERADABAN
ISLAM MASUK DI KABUPATEN MADIUN
Pangeran Timur Pemimpin Yang Adil dan
Bijaksana
Sejarah mencatat tahun
1568 Kesultanan Demak mengalami perpecahan dengan adanya perang saudara yang
dimenangkan oleh Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya,
dengan restu para wali menggantikan kedudukan mertuanya Sultan Trenggono sebagai Sultan.
Namun, Sultan Hadiwijaya tidak mau bertempat tinggal di Demak. Sultan
Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Putra Sultan
Trenggono lainnya atau adik ipar Sultan Hadiwijaya yang bernama Ki Panembahan Ronggo Jumeno oleh Sunan Bonang yang mewakili para
wali diangkat menjadi Bupati Madiun pada tanggal 18 Juli 1568.
Tahun 1546, Sultan
Demak ketiga sekaligus sultan terakhir akhirnya tewas di medan perang dalam
usahanya untuk menaklukkan daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang pada akhirnya
menyebabkan perang saudara antar keturunan daerah Demak memperebutkan kekuasaan
dalam tahta kerajaan. Dan pada akhirnya Sultan Prawata, putra sulung Sultan
Trenggono gugur dalam perebutan tahta. Maka, pewaris utama diperebutkan oleh
Pangeran Hadiri dan Pangeran Hadiwija, yang keduanya termasuk anak mantu dari
Sultan Trenggono. Namun, atau restu Sunan Kudus akhirnya ditetapkan Pangeran
Hadiwijaya sebagai Sultan dan memindahkan pusat kerajaan di Pajang.
Bersamaan dengan
penobatan Sultan Hadiwijaya, dilantik pula adik ipar sultan, yaitu putra bungsu
Sultan Trenggono yang bernama Pangeran
Timur sebagai Bupati di Purabaya yang sekarang disebut Kabupaten
Madiun. Dalam masa kepemimpinannya, Pangeran Timur menjadi seorang bupati yang
bijaksana, adil dan sangat dihormati oleh warganya. Bahkan, kepemimpinan dari
Pangeran Timur sangat disegani oleh para bupati di Jawa Timur. Dalam
memerintah, Pangeran Timur biasa disebut dengan Pangeran Ronggo Jumeno atau
Panembahan Mediyun. Kata Panembahan sendiri berasal dari kata sembah yang sudah
sangat jelas sekali bahwa kedudukan Pangeran Timur lebih tinggi derajatnya dari
bupati lain karena masih keturunan Raja Demak Bintoro. Namun, setelah Pangeran
Hadiwijaya mangkat dikarenakan usia, pusat pemerintahan akhirnya berpindah ke
kerajaan Mataram yang didirikan oleh putra sulungnya, Panembahan Senopati atau disebut
Danang Sutowijoyo. Pria berwajah tampan, kemauan keras dan ahli strategi dalam
berperang, dan karena ambisinya yang besar karena dianggap sebagai raja yang
mumpuni, Panembahan Senopati bercita-cita untuk menaklukan para bupati di
seluruh Jawa di bawah panji-panji Mataram, termasuk Purabaya juga.
Namun, Purabaya di
bawah naungan Pangeran Timur dan bersekutu dengan daaerah lain tak mau tunduk
dengan Mataram dan memilih untuk bertahan seperti Surabaya, Ponorogo, Pasuruan,
Kediri, Kedu, Brebek, Pakis, Ngrowo (Tulungagung), Kertosono, Blitar,
Trenggalek, Tulung (Caruban) dan Jogorogo. Perang pun tak terelakan lagi antara
Mataran dan sekutu Panembahan Senopati. Mataram sendiri di bawah kekuasaan
Panembahan Senopati sejatinya sudah dua kali menyerang Purabaya, sayang semua
usaha gagal dan berakhir kekalahan. Dalam usahanya yang ketiga, Panembahan
Senopati yang dikenal dengan juru taktik dan stretegi perang akhirnya membekali
seluruh prajuritnya dengan senjata tajam (keris, pedang, tombak, panah) serta
memanfaatkan seluruh selirnya.
Nah, inilah yang
menjadi titik lemah Pangeran Timur dan dimanfaatkan dengan baik oleh Mataram.
Di saat semua sekutu Purabaya balik kandang karena merasa lawan sudah kalah dan
menyatakan kondisi Purabaya aman, Mataram akhirnya memanfaatkan celah
longgarnya pertahanan lawan. Hanya dengan sekali serangan, Purabaya akhirnya
bisa dikuasai dengan tanpa pelawanan berarti. “Meski tak berimbang, Purabaya
tetap melakukan perlawanan sekuat tenaga, mereka bertempur dengan gagah berani
melawan pasukan inti Mataram. Pertempuran yang sangat sengit itu terjadi di sekitar
sendang di dalam kompleks istana. Kabupaten Purabaya akhirnya runtuh pada tahun
1590,” ungkapnya.
Nah, Untuk mengenang
peristiwa itu, Panembahan Senopati mengubah nama Purabaya menjadi Mbedi Ayun (Mbedi = mbeji = beji
dalam bahasa Jawa berarti sendang. Ayun berarti depan atau dapat juga berarti
perang. Mbedi Ayun berarti perang di sekitar sendang). Kata Mbedi Ayun akhirnya mengalami
perubahan ucapan menjadi Mbediyun, kemudian
berubah lagi menjadi Mediyun dan
yang terahir adalah Madiun. Konon perang besar itu berakhir pada hari Jumat
Legi tanggal 16 November 1590 Masehi, sekaligus ditandai sebagai penggantian
nama Purabaya menjadi Madiun.
Jejak Islam di Masjid Kuno Kuncen Madiun
Ki Ageng Panembahan
Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo yang juga memiliki julukan
terkenal yaitu Pangeran Timur, beliau seorang adipati yang mendapat utusan dari
Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam. Lantas, apa hubungannya antara Pangeran Timur dengan Masjid Kuno
Kuncen. Seperti apa ceritanya?
Pria yang merupakan
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Madiun ini dengan gamblang menceritakan, saat
pembangunan agama identik atau tidak lepas dengan pembangunan tempat ibadah
yaitu masjid. Dengan adanya bukti sejarah ini semakin menguatkan cerita bahwa
keberadaan masjid Kuno Kuncen atau disebut Masjid Nur Hidayatullah bukti Islam
sudah masuk ke Madiun. Dan dibangun oleh Pangeran Timur saat memerintah
Kabupaten Madiun yang berpusat di sekitar Kelurahan Kuncen, dan berdasarkan
bukti sejarah, masjid tersebut berdiri setelah tahun 1575 atau pada akhir abad
XVI. Menurutnya, masjid Kuno Kuncen memang sangat sakral bagi warga setempat,
tak hanya kegunaannya sebagai tempat beribadah para pemeluk Islam, namun dalam
masjid yang sudah berdiri ratusan tahun silam ini konon banyak menorehkan
sejarah emas Kerajaan Purabaya. Tak hanya terdapat Sendang yang keramat, namun
bangunan masjid tersebut menyimpan kenangan manis sejarah Madiun.
Bagus Rizki saat berziarah ke makam
Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo yang juga
memiliki julukan terkenal yaitu Pangeran Timur
“Masjid Kuno Kuncen yang berada di
Kelurahan Kuncen, Kecamatan Taman, Kota Madiun, Jawa Timur, termasuk masjid tua
yang yang ada di sana. Kebanyakan warga Kota dan Kabupaten Madiun dan sekitarnya
sangat mengenal masjid tersebut. Meski berusia tua, namun sampai saat ini masih
nampak kokoh, artefaknya masih terawat dengan baik, termasuk empat pilar
peyangganya dari kayu jati masih kelihatan kokoh tak rusak dimakan usia,”
jelasnya.
Ditambahkan, nama
Masjid Kunoo Kuncen masih tetap populer, meski pada tahun 1970-an para pengurus
masjid menyematkan nama dengan menyebut Masjid Nur Hidayatullah. Pangeran Timur
pada 18 Juli 1568 diangkat sebagai bupati Madiun oleh Sunan Bonang yang
mewakili para wali. Pangeran Timur kemudian lebih dikenal sebagai Panembahan
Ronggo Jumeno memerintah Kabupaten Madiun selama 18 tahun, sejak 1568 hingga
1586. Di tengah masa pemerintahannya, beliau memindahkan pusat pemerintahan
dari Kelurahan Sogaten ke wilayah Kuncen, yang dahulu bernama Wonorejo. Dari
situ dapat disimpulkan selama menjalankan pemerintahan, Pangeran Timur membawa
misi untuk menyebarkan agama Islam. Hal itu dapat dilihat dari pembangunan
pusat pemerintahan yang berada di sekitar masjid. Makam Pangeran Timur sendiri
berada di sekitar Masjid Kuno Kuncen. Kini, Masjid Kuno Kuncen menjadi tujuan
wisata religi.
Madiun Sebuah Wilayah Peninggalan
Mataram
Jika kita telusuri
berdasarkan sejarah terbentuknya Madiun, memang tidak bisa dilepaskan dari
peninggalan-peninggalan Hindia Belanda dan merupakan salah satu wilayah
kekuasaan Kerajaan Mataram. Madiun memang dikenal sebagai daerah yang sangat
strategis sekali, wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan
Kerajaan Kadiri (Daha). Beberapa peninggalan kabupaten Madiun dapat dilihat di
kelurahan Kuncen, di mana terdapat Makam dan masjid kuno Kuncen, yang merupakan
masjid tertua di Madiun yang kini disebut Masjid Nur Hidayatullah, dan
sisa-sisanya nampak jelas dengan adanya artefak-artefak di sekeliling masjid,
serta Sendang atau tempat pemandian yang juga dianggap keramat, juga terdapat
makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari dan makam para Bupati
Madiun.
Berlanjut ke masa
Hindia-Belanda, Madiun adalah suatu Gemeente,
sebuah istilah dalam bahasa Belanda dan merupakan sebuah nama pembagian
administratif. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “kotamadya” atau
kota dengan pemerintahan sendiri (Swapraja) karena komunitas Belanda tidak
ingin diperintah oleh Bupati (yang adalah orang Jawa). Dan sebagai suatu kota
Swapraja, Madiun didirikan 20 Juni 1918, dengan dipimpin pertama kali oleh
asisten residen Madiun. Baru sejak 1927 dipimpin oleh seorang walikota. Sebelumnya,
Madiun adalah pusat karisedanan Madiun yang meliputi Magetan, Ngawi dan Ponorogo.
Meski secara geografis letaknya masuk dalam lingkup provinsi Jawa Timur, namun,
secara budaya, Madiun lebih kental dengan budaya Jawa Tengahan (Mataraman atau
Solo – Yogya) mengapa? Karena Madiun adalah sebuah wilayah kekuasaan kerajaan
Mataram yang cukup lama.
Nama : Nanda Nuzul Wakhidah
Kelas : KPI 1B
NIM : 12305183037
Komentar
Posting Komentar