MENAK SOPAL : Pahlawan Tani dan Islamisasinya

S
ejarah islam masuk ke Indonesia mulai abad ke- 13 M yang kemudian menyebar ke seluruh nusantara termasuk pulau jawa. Masuknya islam di tanah jawa tidak lepas dari perjuangan Walisongo dalam penyebarannya yang didukung oleh Kerajaan Kesultanan Demak. Hingga akhirnya islam bisa dirasakan dipelosok – pelosok jawa, termasuk didaerah pesisir selatan seperti kabupaten Trenggalek. Penyebaran islam di kabupaten Trenggalek dilakukan secara halus dan hati – hati. Sampai saat ini belum ada dokumen tertulis yang menyatakan tentang penyebaran islam di Trenggalek, hanya ditemukan sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal serta diceritakan secara lisan dan turun temurun utamanya tentang tokoh Menak Sopal yang menurut cerita beliaulah pemimpin pertama di kabupaten Trenggalek.


Berawal dari datangnya seorang utusan dari mataram yang ditugaskan untuk mengatur daerah di timur wengker, sekarang bernama Ponorogo dan daerah itu disebut Trenggalek. Ki Ageng Galek, begitu beliau disebut yang merupakan penyiar agama islam tertua di Trenggalek. Ki Ageng Galek dibantu oleh 6 santrinya (ada sumber yang menyebutkanbahwa santri ini adalah sahabatnya, dan ada sumber yang menyebutkan bahwa santri ini adalah putranya sendiri). Yaitu: Ki Joyonagoro, Ki Sosuto, Ki Dobongso, Ki Ardimanggala, Ki Surohandaka, dan Ki Singomanggala.
Dalam sebuah babad Trenggalek, disebutkan bahwa salah satu tugas Ki Ageng Galek adalah merawat seorang putri yang berasal dari Majapahit yang bernama Dewi Amiswati atau Dewi Roro Menur, seorang putri cantik yang memiliki penyakit luka – luka dikakinya dan berbau amis dan busuk.
Ki Ageng Galek Merasa bingung, karena semua obat – obatan telah diberikan tapi tidak kunjung sembuh. Kemudian disuruhnya dewi amiswati menjalani suatu ritual penyembuhannya. Sang putri disuruh mandi di sungai Bagongan (Sungai tersebut saat ini terletak di kelurahan Ngantru Kecamatan Trenggalek). Sang putri tentunya malu pada penyakitnya, termasuk ketika ia harus menjalankan ritual tersebut. Kemudian ia berucap bahwa siapa saja yang berhasil menyembuhkan penyakitnya jika perempuan akan ia jadikan saudara dan jika laki – laki akan ia jadikan suami.
Berita itu rupaya terdengar oleh Menak Sraba yang merupakan salah satu tokoh priyayi islam di Trenggalek yang bertahta di Lubuk atau Kedung Bagongan. Menak Sraba ini adalah sosok tampan dan rendah hati yang mampu merubah diri menjadi seekor Buaya Putih. Menak Sraba mengobati penyakit Dewi Amiswati dengan cara menjilati lukanya dan alhasil bisa sembuh seperti sediakala.
Berkat tindakan itu, Ki Ageng Galek mau menerima Menak Sraba sebagai anggota keluarganya dan mengawinkannya dengan Dewi Amisayu. Beberapa bulan setelah pernikahan tersebut, Menak Sraba kembali ketempatnya semula. Beberapa tahun kemudian, setelah sepeninggalan Menak Sraba, Dewi Amis Ayu melahirkan anak laki-laki. Sesuai pesan dari Menak Sraba suaminya, maka bayi tersebut diberi nama Menak Sopal.


Seiring waktu Menak Sopal tumbuh dewasa, lalu mohon keterangan dari ibunya siap ayahnya yang sebenarnya. Terpaksa Dewi Amis Ayu bersawantah (berterus terang) bahwa ayahnya adalah, buaya putih penjaga Kedung Bagongan. Ketika mendengar cerita ibunya, Menak Sopal segera dan mohon diri atau izin kepada Dewi Amiswati pergi untuk mencari ayahnya.
Pada akhirnya Menak Sopal berhasil bertemu dengan ayahnya di Demak Bintara. Disitulah kemudian Menak Sopal dididik dan diberi pelajaran agama Islam. Pendidikan agama islam yang diajarkan oleh ayahnya dalam waktu yang cukup lama membuat anaknya menjadi seorang yang sangat religious dan mengharapkan bahwa masyarakat sekitar juga menjadi muslim. Sepulang dari Demak Bintara menuju Trenggalek mulailah perjaka ini berfikir bagaimana cara agar rakyat Trenggalek memeluk agama Islam.
Pada waktu itu, rakyat Trenggalek sebagian besar bekerja sebagai petani dan masih mempercayai animisme dan dinamisme juga ada yang beragama Hindu, namun daerahnya sangat kekurangan air. Kemudian Menak Sopal berfikir dan dirasa perlu mendirikan tanggul air agar pengairan bisa memberi kemakmuran bagi rakyat Trenggalek.
Menak Sopal bersikeras untuk membuat tanggul, tetapi selalu gagal dan akhirnya meminta petunjuk ayahnya Menak Sraba. Kemudian oleh ayahnya diberi tahu, bahwa bendungan bisa terwujud bila di tumbali kepala gajah putih. Setelah diberi tahu ayahnya, Menak Sopal langsung mengirim utusannya ke suatu tempat yakni di Randa Krandon atau janda yang bertempat di Desa Krandon (ada sumber yang mengatakan janda ini berasal dari desa Kerjo kecamatan Karangan dan ada sumber yang mengatakan berasal dari Ponorogo). Janda itulah satu-satunya yang mempunyai gajah putih. Kemudian janda kerandon tidak keberatan untuk meminjamkan gajah putihnya, asalkan setelah selesai tugasnya dalam membantu pembuatan bendungan segera dikembalikan ke Krandon.
Akhirnya gajah putih dibawa ke Trenggalek dan selanjutnya di sembelih didekat sungai Bagongan. Daging dari gajah putih tersebut kemudian dibagi - bagikan kepada rakyat yang bekerja untuk membuat bendungan Bagong, sedangkan kepalanya dijadikan tumbal disitu. Setelah ditumbali kepala gajah putih bedungan itu dapat terwujud. Bendungan sudah jadi dan airnya mulai mengaliri sawah-sawah serta dapat diatur untuk keperluan sehari hari bagi rakyat Trenggalek. Berkat itulah sawah sawah dapat ditanami padi hingga setahun panen dua atau tiga kali. sedangkan dulu hanya merupakan sawah tadah hujan.
Dari semua yang dilakukan oleh Menak Sopal ini sebagai satu alat untuk dijadikan rangsangan agar rakyat Trenggalek mau beragama Islam. Dan akhirnya rakyat Trenggalek mau memeluk agama islam.


Janda Krandon sudah lama sekali menunggu dan menanti kedatangan gajah putih yang dipinjam Menak Sopal, namun tidak kunjung dikembalikan. Oleh karena itu, janda Krandon terpaksa menyiapkan tertaranya untuk meminta kembali gajah putih dari menak sopal. Untuk mengindari agar tidak terjadi pertumpahan darah di Trenggalek, Minak Sopal minta pertolongan ayahnya. Kemudian bersama-sama membuat lorong didalam tanah yang biasa disebut gangsiran atau sumur gumuling (Lorong tersebut, konon berada di desa Dermosari Kecamatan Tugu). Lorong tersebut dibuat mulai dari daerah Trenggalek hingga ke Rawa Ngebel atau Ponorogo kecamatan Ngebel. Gangsiran atau lorong didalam tanah, mengandung perlambang bahwa penyebaran agama Islam yang dilakukan dengan cara diam diam.
Kala itu, Janda Krandon yang menyiapkan tentaranya berjaga - jaga dipuncak gunung sekitar Trenggalek sambil memantau gerak gerik tentara Minak Sopal. Karena terlalu lama didaerah itu, hingga sampai tangkai tombak perajurit perajuritnya dimakan bubuk. Kemudian daerah itu diberi nama gunung Bubuk. Selanjutnya, janda Krandon terpaksa membatalkan kehendaknya untuk menyerang daerah Trenggalek. Perlu diketahui yang dimaksud tangkai tombak telah di makan bubuk adalah rakyat Krandon yang disini sudah dipengaruhi olek Menak Sraba dan Menak Sopal yang telah menyebarkan agama Islam secara diam diam (gangsiran). Dan akhirnya rakyat digunung bubuk semua memeluk agama Islam. Karena didaerah bubuk dipimpin oleh seorang janda artinya wanita yang sudah ditinggal suaminya karena itu pula, Majapahit telah runtuh dan Kasultanan Demak Bintara telah berdiri.
Menak Sopal dimakamkan di Kelurahan Ngantru yang berdekatan dengan Bendungan Bagongan atau masyarakat menyebutnya Dam Bagong. Berdasarkan ukiran nisan makam Menak Sopal yang berwujud bunga berkelopak empat helai dan rembulan, dapatlah dijadikan bukti adanya candra sangkala memet yang berbunyi sirnaning puspita cinatur wulan yang artinya tahun saka 1490 atau tahun masehi 1568 yaitu menunjukan waktu wafatnya Ki Ageng Menak Sopal.
Disamping makam Menak Sopal, juga dimakamkan sang Ibu yakni Dewi Amiswati. Selain itu juga dimakamkan 9 prajurit disamping kanan dan kiri makam Menak Sopal yang menurut keterangan juru kunci melambangkan keberadaan 9 Wali atau Walisongo. Disekitar makam Menak Sopal juga terdapat makam Mas Ajeng Sururi yang ilmunya setingkat dengan para wali, berdasarkan tulisan di batu nisan yang bertuliskan arab menyebutkan angka tahun 1358, beliau juga dikenal sebagai penyebar agama islam.
Untuk memperingati kembali peristiwa sejarah perjuangan bekel Trenggalek dalam mendirikan tanggul air untuk petani Trenggalek, maka  setiap tanggal 1 suro (dalam penanggalan jawa) dilaksanakan upacara adat Nyadran dam bagong. Dalam acara nyadran ini, masyarakat Trenggalek mengulang prosesi Menak Sopal ketika menyembelih gajah putih. Tetapi karena gajah putih tidak ada, maka diganti dengan 10 ekor kerbau dan kepalanya dilemparkan ke Dam bagong untuk diperebutkan masyarakat yang menonton. Pada malam harinya, di pendopo makam Menak Sopal diadakan pagelaran wayang kulit yang alur ceritanya menceritakan kembali peristiwa yang Menak Sopal alami.



Sejarah ini untuk memenuhi tugas UAS Sejarah Peradaban Islam;
Dari kabupaten Trenggalek, Firman Dani Wijaya (12305183069)

Semoga bermanfaat :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbah Mesir : Tokoh Dibalik Tradisi Syawalan di Durenan Trenggalek

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASUK DI KABUPATEN MADIUN

Sejarah Perkembangan Islam Di Jombang