masuknya Islam di Banyuwangi
SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI BANYUWANGI
Ada hal yang perlu kita ketahui bahwa kehidupan
kita sebagai bangsa Indonesia dilatarbelakangi dengan sejarah yang erat
kaitannya denan pluralisme, begitu pula dengan proses masuknya agama islam di
Indonesia. Sejumlah teori menyatakan bahwa yang pertama kali masuk islam adalah
penguasa. Kalau lebih diperhatikan lagi dapat diperhatikan bahwa islam
disebarkan secara top down, kurang
membumi pada akar rumput. Pada abad ke-12 dan ke-13 islam dibawa oleh pedagang
Gujarat dan Arab, lalu, islamisasi mengalami akselerasi antara abad ke-15 dan
abad ke-16. Namun dalam pembahasan sejarah nusantara ternyata islam disebarkan
dengan lebih elegan dan kultural pada abad ke-7 oleh orang-orang Tionghoa atau
berkebangsaan Cina, jauh sebelum kedatangan orang-orang Gujurat dan Arab. Para
pembawa islam pertama kali adalah orang Cina yang memiliki karakteristik sufi,
mereka bergabung dengan rakyat kecil, berkelompok dagang dan mengerjakan
kerajinan kreatif. Karakteristik sufi orang-orang Cina pembawa agama islam di
abad ke-7 itu mengajarkan Theosofi Sinkretik. Dalam 1492(Quartroze Neuf-Deux)
dijelaskan Angkatan Laut Cina adalah kekuatan muslim. Pada abad ke-13 sampai
ke-16. Berbicara soal penyebaran agama islam di Indonesia,
pembahasan kali ini akan lebih memfokuskan kepada salah satu daerah yang
terletak di pulau jawa, yakni Banyuwangi.
Banyuwangi adalah sebuah kabupaten di wilayah Jawa Timur yang paling ujung
timur. Masuknya Islam di Banyuwangi tidak terlepas dari pengaruh syiar agama Islam yang
dibawa orang-orang Timur Tengah dan India ke tanah Jawa, termasuk di bumi
Blambangan sebagai salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Saat itu, mayoritas penduduk Belambangan memeluk agama Hindu. Menurut salah seorang pengamat sejarah Banyuwangi, Armaya,
salah satu pembawa agama Islam yang sering disebut dalam sejarah adalah Maulana
Ishak, seorang keturunan Arab yang sebelumnya mendatangi Pasai dan Gresik.
Ulama yang kerap dipanggil
dengan sebutan Syekh Wali Lanang itu akhirnya berhak mengawini Dewi Kasiyan, putri Menak Sembuyu
atau Dedali Putih. Menak Sembuyu adalah putra BreWirabumi dan cucu Raja Majapahit II,
Hayam Wuruk. Sang putri saat itu menderita sakit aneh. Hingga
dikeluarkan sayembara, barangsiapa yang bias menyembuhkannya, akan
dikawinkan dengan Dewi.
“Akhirnya Maulana Ishak
berhasil menyembuhkan dan mengawini Dewi lalu sang putri masuk
Islam dan mengganti namanya menjadi Ayu Atikah” katanya. Namun akhirnya kedua
pasangan ini diusir dan lari ke Gresik.
Pasangan Maulana-Dewi inilah yang
melahirkan Raden Paku atau yang dikenal dengan nama Sunan Giri. Hingga kini
makam Ayu Atikah masih terawat rapi di wilayah Kecamatan
Giri,
sekitar tujuh kilometer barat kota Banyuwangi.
Lalu kemudian dilanjutkan
pada zaman pendudukan Hindia Belanda sampai abad ke-18 menjelang lahirnya nama
Banyuwangi. Usai Puputan Bayu antara Belanda danpejuang pribumi kerajaan,
Blambangan dikuasai dan dibawah kendali Hindia Belanda.
Kaum bangsawan saat itu
ada yang lari ke Madura. Lalu Belanda menunjuk salah satu keturunan
Majapahit yang ikut lari ke Madura yakni Mas Alit sebagai bupati. Pusat kekuasaan
Hindia Belanda saat itu berada di wilayah Benculuk, sebuah kecamatan yang
berjarak sekitar 30 km selatan kota. Pada 24 Oktober 1774, pusat kekuasaan akhirnya dipindah ke
wilayah kota seperti sekarang.
“Momen itulah yang
akhirnya dijadikan hari lahir kota Banyuwangi dan Mas Alit
menjadi Bupati I pada umur 18 tahun,” ujar Armaya.Sebelumnya Mas Alit sudah
memeluk agama Islam dan memperisteri orang Madura atas pengaruh Bupati
Bangkalan yang bernama Rasamala yang juga kakak iparnya.
Di masa Tawangalun, kita mengenal nama Ki
Bagus Wongsokaryo sebagai penasehat spiritual (diduga seorang muslim) dari Mas
Tawangalun, yang terkenal dengan sebutan Ki Buyut Cungking. Sebutan itu
disematkan kepada Ki Bagus Wongsokaryo karena dialah penerjemah kerajaan dalam
menjalin komunikasi dengan tamu-tamu China, karena hubungan kerajaan-kerajaan
di nusantara dengan negeri Tiongkok akrab sekali di zaman dinasti Ming
(1368-1643). Di depan Kraton Macan Putih, terdapat tempat menerima tamu-tamu
dari Cungking, China, sehingga tempat itu kemudian disebut Cungking.
Orang-orang setempat, karena tidak mengerti Bahasa Mandarin, mengartikan kata
“cungking” dengan “kuncunge teng wingking”, yaitu orang-orang yang rambutnya digelung
di belakang kepalanya sebagai kebiasaan bangsa China di masa lalu.
Islamisasi di Blambangan (Banyuwangi) tidak
terlepas dari keterkaitan dari proses Islamisasi di Jawa itu, utamanya di Jawa
Timur yang berpusat di Surabaya dan Giri, Gresik. Pada mulanya, Sultan Samudera
Pasai, Zainal Abidin Ba’iyah Syah (1349-1406) mengirimkan ulama ke Jawa, yaitu
Maulana Malik Ibrahim dikirim ke Gresik (wafat 1419) dan Maulana Iskak atau
Syeh Wali Lanang. Maulana Iskak lalu ditugaskan oleh Sunan Ampel (Raden Rahmat,
yang juga terkenal dengan nama Bong Swi Hoo) di Ampeldenta, Surabaya untuk
menyebarkan Islam di Blambangan. Raden Rahmat atau Sunan Ampel adalah putra
Makhdum Ibrahim, menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati. Dalam catatan Kronik
Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel adalah cucu dari Haji Bong Tak
Keng, seorang Tionghoa bermarga Hui beragama Islam mazhab Hanafi yang
ditugaskan sebagai Kapten China di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia
Ma Hong Fu, menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok
di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan
sebagai kapten China di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya
Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel sebagai kapten China di Jiaotung (Bangil).
Islam yang dibawa dan diupayakan oleh
orang-orang China itu kemudian mendapatkan tempat di hati rakyat, ini karena
Islam disebarkan secara kultural dengan tidak mengutamakan aspek formal yang
kaku, tetapi lebih pada aspek hakikat ajaran dan keterbukaan Islam yang lentur
terhadap nilai-nilai di luar dirinya. Di samping itu pula, orang-orang China
itu mengamalkan kemampuan mereka dalam hal pengobatan. Sehingga tidaklah
mengherankan jika Maulana Iskak (Ishaq) atau Syekh Wali Lanang mampu
menyembuhkan cucu Menak Sembuyu, penguasa Blambangan, yakni Putri Sekar Dadu,
yang mengalami sakit keras dan tidak ada satu pun tabib Jawa yang dapat
menyembuhkannya.
Menurut cerita tutur, tidak lama setelah masa
keruntuhan Kerajaan Macan Putih dengan rajanya yang berwibawa, Mas Tawangalun,
Islam dibumikan di bumi Blambangan oleh dua orang penyebar Islam yang kita
kenal dengan nama Ki Tampa Wijaya dan Ki Ishak (diduga sebagai kakak beradik).
Ki Tampa Wijaya bertempat tinggal di wilayah Benelan Lor, Kec. Rogojampi.
Sekitar tahun 1600-an, Ki Tampa Wijaya mendirikan masjid pertama kali di
Banyuwangi, yakni Masjid Gombolirang, terletak di Desa Gombolirang. Dugaan
bahwa Masjid Gombolirang adalah masjid pertama di Banyuwangi dibuktikan dengan
keterangan lisan penduduk setempat, bahwa waktu itu orang yang melakukan salat
Jumat datang dari daerah-daerah yang jauh di Banyuwangi. Yang menarik, ternyata
Ki Tampa Wijaya (menurut dugaan historis) adalah keturunan Tionghoa dari marga
Wie, yang bernama asli Ki Tong Pho Wie. Jika dugaan ini benar (karena
penelitian sejarah di Banyuwangi belum pernah dilakukan), maka tentu saja
adik/kakak dari Ki Tampa Wijaya, yakni Ki Ishak, juga keturunan China. Ki Tampa
Wijaya memiliki seorang istri pertama yang juga orang China, bernama Lingcing
yang bertempat tinggal di pertigaan Rogojampi menuju Gambor, yang hingga hari
ini penduduk Rogojampi menyebut pertigaan itu dengan nama Pertigaan Lingcing.
Terdapat keterangan bahwa Ki Tampa Wijaya dijadikan tokoh muslim berpengaruh
oleh VOC, yakni sebagai amtenaar. Tidak mengherankan, karena Belanda tidak
mungkin mengangkat orang setempat (pribumi) sebagai amtenaar. Hal ini
menunjukkan bahwa Ki Tampa Wijaya adalah seorang yang memiliki status
sosial-ekonomi yang tinggi di tengah-tengah masyarakat Blambangan. Belakangan
setelah wafatnya Ki Tampa Wijaya, anak-cucu keturunannya banyak yang menjabat
sebagai lurah di daerah Rogojampi dan sekitarnya. Hingga keturunan dari Ki
Ishak (adik/kakak Ki Tampa Wijaya) yang bermarga Wie itu menjabat sebagai
bupati Banyuwangi, yakni Ir. H. Samsul Hadi. Apabila dugaan ini benar, maka
jelaslah bahwa peranan orang-orang Tionghoa sebagai bagian dari bangsa kita
tidak diragukan lagi. Itulah mungkin yang memunculkan ornamen Naga berkepala
Gatot Kaca yang menghadap pada bunga Jaya Kusuma (bunga kebenaran, kemenangan
dan kesejatian). Naga adalah simbol yang terdapat dalam kebudayaan China, Gatot
Kaca adalah tokoh pewayangan dalam kebudayaan Jawa. Ini adalah akulturasi
kreatif antara budaya China dan Jawa, yakni naga sebagai simbol kekuatan,
keberanian dan kewibawaan. Gatot Kaca menyimbolkan kepemimpinan yang adil,
penuh kasih sayang dan membela yang lemah yang memegang prinsip kebenaran dan
kesejatian nilai-nilai. Dapat diartikan pula, pemimpin yang kuat adalah
pemimpin yang mampu mengayomi dan berani membela yang lemah serta berpegang
pada kebenaran dan keadilan. Jelaslah dengan demikian, bahwa nilai-nilai
filosofis dari ornamen Naga berkepala Gatot Kaca tersebut adalah nilai-nilai
yang terdapat dalam ajaran Islam tentang seorang pemimpin yang sejati.
Kalau lebih kita
perhatikan lagi peranan tokoh-tokoh dalam pengembangan islam sangat kuat
peranannya dari luar pula, yaitu melalui penakluk maupun kekuatan para
ruhaniawan seperti para wali. Namun demiian dalam kurun waktu yang sangat lama
sejak dimulainya wikrama wardhana bertahta(1389-1429 M), dilanjutkan oleh
kartawijaya (1447-1451) dan Adi Sura Prabhawa, dilanjutkan Demak, Mataram.
Islam tetap tidak mampu meembus Banyuwangi di buktikan masjid baru berdiri pada
abad XVII. Banyuwangi adalah Blambangan timur yang berdekatan dengan Bali.
Bali-lah yang selalu mempertahankan dan membantu Banyuwangi/Blambangan timur
dari segala sesuatu yang bernuansakan penjajahan dan penyebaran gama baru yakni
dalam hal ini adalah islam. Dimana seperti kita ketahui bersama bahwa agama
yang dianut oleh masyarakat Bali adalah Siwa Hindu Buddha, namun faham Tri
Mukti dijadikan dasar keagamaan. Di dalam susunannya struktur masyarakat dengan
adanya kasta adalah salah satu cintih bentuk benteng pertahanan kepercayaan
masyarakat Bali dab Banyuwangi. Keadaan sperti ini terus dipelihara secara
turun temurun.
Menurut ketua
persatuan hindu di Banyuwangi, bapak Ketut Sidra dan juga juru kunci
keratin Macan Putih bapak Elik, pada
zaman dahulu ada seorang empu bernama Markadi yang berada di desa Canga’ lereng
gunung Raung hidup pada tahun 800 M mengajarkan Subak yang sekarang terkenal
dan dipraktekkan di Bali. Filsafat dasar ajarannya adalah menghormati dan
menghargai tumbuh-tumbuhan dan air, berbicaralah dengan kelembutan, janganlah
menyakiti hati orang lain. Pada tahun 1638 gunung Raung meletus, tetapi bukti
bahwa tempat tersebut masih ada di desa Canga yakni pemukimman yang saat ini
ditemukan di daerah Genteng selatan kabupaten Banyuwangi. Dari fakta sejarah
itulah, islam memang sulit untuk menuju Banyuwangi, di sisi lain juga letak
geografis Banyuwangi sangat sukar untuk dilakukannya dakwah penyebaran islam,
sebagai bukti : disebelah barat kota Banyuwangi adalah gunung Raung yang
menjulang tinggi dan kota Bondowoso. Masyarakat di sebelah barat hidup dari
Persil, (perkebunan) dan pencari belerang, jadi tidak banyak aktifitas yang
bisa dilakukan. Kondisi ini akan membawa kepada kejenuhan sehingga muncul
dorongan untuk mencari ketenangan, yakni melalui agama.
Dari sisi selatan
Banyuwangi di tembus melalui perang, melalui masuknya penduduk islam Mataram
dan orang-orang Madura masuk melalui kalisat. Sebelah timur adalah laut
yang berbatasan langsung dengan Bali,
sehingga penyebaran islam dari sisi
timur ini sangat sulit karena adanya pengaruh bali yang masih Hinduistis.
Dari arah utara
masuknya orang-orang Madura dan kelompok santri keturunan Ki Gede Banyuwangi
murid Syekh Siti Jenar. Sebagai buktinya yakni adanya makam islam kuno di
kecamatan Wongsorejo kabupaten Banyuwangi. Makam ini bertuliskan Mubarrok
Mursyid di batu nisannya, setelah diteliti oleh badan arkeolog Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, batu nisan itu dipahat pada tahun 1448 M.
Desa-desa lama
sudah ada pada waktu itu, seperti yang dituliskan di dalam negara kartagama
pupuh 28 bait 1, andelan pada zaman Hayam wuruk ke tempat-tempat di Banyuwangi
pada tahun 1359 M, desa-desa seperti Bajulmati, Bengkalingan, Bengkak,
Watudodol, boyolangu, Penataban, Cungking, Mojoroto, tertulis dalam babad bayu
1771 M pupuh XIV bait 29.
Penyebaran islam
di Banyuwangi harus menembus Blambangan yang sangat luas, selain itu juga
jarakk antar kota yang berjauhan, misalnya Pamotan, Pasuruan, Panarukan,
Lumajang memakan waktu yang sangat lama. Dikawasan ini juga terdapat laut,
rawa, seperti di rowo bayu, hutan lebat seperti di alas purwo dan baluran, air
terjun deras seperti lider, telunjuk raung, antogan Rogojampi, gurun pasir di
watubuncul, juran yang curam seperti daerah watu putih, bromo, ijen, besuki,
mrawan dan lain-lain menunjukkan memang daerah ini sulit dijangkau.
Dibuat untuk
memenuhi tugas Sejarah Peradaban Islam.
Oleh : Ahmad Hasan Maskur
NIM : 12305183057
Jurusan : KPI/1B
Komentar
Posting Komentar