GUS MIEK
GUS MIEK
Hamim Tohari Djazuli, akrab
dipanggil Gus Miek (lahir di Kediri, 17 Agustus 1940– meninggal
di Surabaya, Jawa Timur, 5 Juni 1993 pada
umur 52 tahun) adalah
pendiri amalan dzikir Jama'ah Mujahadah Lailiyah, Dzikrul Ghofilin, dan sema'an (mendengarkan) al-Qur'an
Jantiko Mantab. Ia
adalah putra dari K.H. Jazuli Utsman, pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo,
Kediri, Jawa Timur. Ia terkenal sebagai seorang wali (kekasih Allah) yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di luar Pesantren untuk
berdakwah. Gus Miek juga terkenal sebagai wali yang memiliki banyak karomah (kelebihan).
Gus Miek kecil lahir dari pasangan KH. Djazuli Ustman dan
Nyai Rodhiyah tepat pada tanggal 17 Agustus 1940 di Desa Ploso, Mojo, Kediri,
Jawa Timur. KH. Djazuli pun memberi nama Hamim Tohari Djazuli kepada putra
ketiganya itu, yang kemudian lebih sering dipanggil Amiek atau Gus Miek
lantaran saudara-saudaranya yang juga masih kecil belum fasih memanggil nama
Hamim.
Pendidikan
awal ia tempuh dengan masuk di Sekolah
Rakyat (SR),
namun tidak sampai selesai karena sering membolos. Dalam pendidikan belajar
membaca al-Qur'an, Gus Miek dibimbing langsung oleh ibunya, kemudian ia
diserahkan kepada Ustadz Hamzah. Sedangkan
dalam pendidikan belajar kitab, Gus Miek beserta para saudaranya diajar
langsung oleh ayahnya.
Pada
umur 9 tahun, Gus Miek telah mengenal ulama-ulama besar. Beberapa ulama
tersebut yang sering dikunjungi Gus Miek adalah K.H. Mubasyir Mundzir,
Kediri; K.H. Mas'ud (Gus Ud) Pagerwojo, Sidoarjo;
dan K.H. Hamid, Pasuruan.
Ketika berkunjung ke rumah Gus Ud di Sidorajo, untuk pertama kalinya Gus Miek
bertemu dengan K.H. Ahmad Siddiq yang
pada saat itu menjadi sekertaris pribadi K.H. Wahid
Hasyim, K.H. Ahmad Siddiq inilah yang kelak
sering menentang tradisi sufi Gus Miek namun ia juga yang kelak
menjadi kawan karibnya di Dzikrul Ghofilin.
Pada
umur 13 tahun, Gus Miek melanjutkan pendidikannya di Pondok
Pesantren Lirboyo, Kediri, setelah
K.H. Mahrus Ali datang
menjemputnya di Ploso untuk memintanya belajar di Pondok Pesantren asuhan K.H.
Mahrus Ali tersebut. Namun pendidikannya di Pondok Pesantren Lirboyo hanya
bertahan selama 16 hari dan kemudian Gus Miek kembali pulang ke Ploso.
Kepulangan
Gus Miek yang mendadak ke Pondok Pesantren Ploso membuat orang tuanya resah
karena ia tidak mau untuk melanjutkan belajarnya di Pesantren Lirboyo. Namun
Gus Miek mampu menunjukkan bahwa selama belajarnya di Pesantren Lirboyo ia
melakukannya dengan sungguh-sungguh, ia membuktikan kepada orang tuannya dengan
cara menggantikan semua jadwal pengajian yang biasa diampu oleh ayahnya di
Pondok Pesntren Ploso. Gus Miek membuktikannya dengan mengajarkan berbagai
kitab kepada para santri, yakni: kitab Tahrir (kitab fiqh tingkat
dasar), Fatkhul Mu'in (kitab
fiqh tingkat menengah), Jam'ul Jawami' (kitab ushul
fiqh), Fatkhul Qarib (kitab
fiqh tingkat menengah), Shahih
Bukhari (kitab hadis), Shahih
Muslim (kitab hadis), Tafsir Jalalain (kitab tafsir al-Qur'an), Iqna (kitab fiqh
penjabaran dari kitab Fatkhul Qarib), Shaban (kitab tata
bahasa Arab)
dan Ihya' Ulumuddin (kitab tasawuf).Pada saat inilah orang tuanya menyadari adanya karomah (kelebihan) kewalian
pada diri Gus Miek.
Setelah
menunjukkan kemampuannya kepada orang tuanya, beberapa bulan kemudian Gus Miek
memutuskan untuk belajar lagi di Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut ia
cukup rajin dalam mengikuti pengajian. Namun ia mempuyai kebiasaan yang sulit
dihilangkan sejak di Ploso, yaitu ketika santri lain sedang sibuk mengaji, ia
hanya tidur dan meletakkan kitabnya di atas meja. Meskipun demikian, ketika
gurunya mengajukan pertanyaan terkait materi yang telah disampaikan, Gus Miek
selalu mampu menjawabnya dengan memuaskan.
Daftr pustaka : www.wikipedia.org/wiki
Daftr pustaka : www.wikipedia.org/wiki
NAMA : JUVINO CHANDIKA A.
KELAS : KPI – 1B
NIM : 12305183053
Komentar
Posting Komentar