Kisah Waliyulloh, KH. Zainuddin Mojosari, Nganjuk

Kisah Waliyulloh, KH. Zainuddin Mojosari, Nganjuk

KH. Zainuddin merupakan pengasuh Pondok Pesantren Mojosari, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur generasi ke 7. Pondok Pesantren Mojosari didirikan pada tahun 1720 M oleh Kyai Ali Imron, Bendungan.
Ketika menjadi santri di pesantren Langitan, Tuban, Kiai Zainuddin yang asal Padangan, Bojonegoro diambil menantu oleh pengasuh pondok tersebut, dan diminta untuk meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari. Di bawah kepemimpinannya, Ponpes Mojosari mencapai kejayaannya.
Kyai Zainuddin adalah sosok Kyai yang istiqomah, diakui kewaliannya dan sangat peduli dengan lingkungan, ini dibuktikan dengan banyaknya hewan peliharaan dirumahnya, seperti sapi, kuda, kambing, bebek, ayam dan lainnya. Seakan-akan rumahnya mirip kebun binatang.
Meski di kenal sebagai Waliyullah, kegiatan KH Zainuddin sehari-hari tak jauh berbeda dengan petani pada umumnya, tapi ia terkenal sangat disiplin dan istiqamah. Jam 22.00 setelah selesai mengajar dimalam hari, sang kiai istirahat hingga jam 02.00 lalu shalat tahajjud, membaca Al Qur’an atau melakukan ibadah-ibadah lain yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah hingga menjelang subuh.
Namun adakalanya, sambil menanti subuh, dia berputar-putar mengelilingi pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan, dikumpulkannya buah sawo, jambu dan buah-buahan lainnya yang berjatuhan untuk makanan ternak. Setelah itu barulah dia membangunkan para santri di pondok dengan menyebut nama mereka satu per satu. Begitu banyak nama santri yang beliau hafal.
Apabila musim dingin tiba, biasanya santri agak sulit bangun pagi, untuk mengatasinya KH. Zainuddin tidak pernah kehabisan taktik. Beliau keliling membawa wadah air dan selembar serbet (kain lap). Serbet yang sudah dibasahi itu kemudian ditempelkan atau diteteskan airnya ketubuh siapa saja yang belum bangun, tak peduli santri atau tamu yang kebetulan sowan ke pondok.
Santri yang terkejut merasakan tetesan air itu mulai bergerak bangun, namun lucunya Kyai Zainuddin malah dengan sigapnya bersembunyi dibalik pintu tak ubahnya seperti anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Hal ini terus dilakukan sampai santri benar-benar bangun.
Untuk santri yang masih juga membandel, padahal sudah berulang kali tetesan air mengenai tubuhnya maka Kyai Zainuddin meneteskan minyak tanah dari sumbu lampu kaleng. Si santripun bisa jengkel dan bangun sambil berteriak : “wo nakal !!! mbeling tenan, nganggo lengo gas” (wah nakal, keterlaluan banget, pakai minyak tanah). Dan santri itupun hanya bisa tersipu malu ketika mengetahui pelakunya adalah kiainya sendiri. Kyai Zainuddin memang memiliki selera humor tinggi sehingga santri-santri sangat akrab dengan beliau.
Usai shalat Subuh, Kegiatan Kyai Zainuddin dilanjutkan dengan pengajian, dari kitab yang kecil maupun besar. Sekitar jam 07.00 diambilnya sapu lidi, dan dengan sigap ia membersihkan halaman rumah sampai ke kandang kuda, sapi, kambing dan ayam. Kalau perlu, dia juga turut memberi makan binatang-binatang ternak peliharaannya, kyai Zainuddin termasuk penyayang binatang dan rajin menjaga kebersihan lingkungan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Kyai Zainuddin bekerja keras, mengayun cangkul, menanam singkong, jagung atau pisang. Dan untuk keperluan kesehatan, dia juga membuat apotek hidup dihalaman rumahnya.
Syahdan pada suatu hari, seperti biasanya pesantren di bulan Sya’ban selalu mengadakan imtihan (selametan) pengajian pondok di akhir tahun. Pada waktu itu beliau bersama-sama pengurus pondok dan tokoh-tokoh kampung Mojosari berkumpul mengadakan musyawarah untuk gawe besar ini. Disepakati perayaan imtihan dilakukan semeriah mungkin dan dilakukan beberapa hari baik melibatkan pondok maupun masyarakat Mojosari. Akhirnya ada sebagian masyarakat yang mengusulkan diadakan kesenian rakyat yaitu “JARANAN”, dan beliau mbah Kyai Zainuddin mengiyakan dengan syarat dilakukan di awal dan di luar pondok (di kampung). Maka bersemangatlah masyarakat Mojosari (saat itu masyarakat Mojosari 90% masih abangan dan terkenal sebagai tempatnya maksiyat).
Berhari-hari masyarakat Mojosari dan pondok dalam suasana gembira. Rupanya hal ini terdengar sampai jauh di luar Nganjuk. Terbukti para Kyai menyikapi insiden tersebut karena melihat bahwa Mbah Kyai Zainuddin adalah salah satu tokoh ulama yang paling disegani. Mereka para Kyai takut hal ini akan berdampak pada masyarakat santri pada waktu itu. Akhirnya Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisyri Sansuri dan para Kyai lain bermusyawarah melakukan sikap dan meminta pada Mbah Kyai Zainuddin untuk bersikap tegas dengan adanya “JARANAN” masuk dalam kegiatan Imtihan. Mereka para Kyai akhirnya tidak menuai kesepakatan siapa yang harus sowan menghadap kepada Mbah Kyai Zainuddin. Mereka tidak ada yang berani menghadap mengingat mereka semua adalah murid dan santri beliau. Karena semua Kyai tersebut tidak berani menghadap, akhirnya disepakati dengan memakai mediator surat pernyataan dan ditandatangani oleh bersama.
Setelah selesai rapat musyawarah pernyataan sikap, para Kyai pulang ke rumah masing-masing. Tempat musyawarah waktu itu dilaksanakan di Tebuireng.
Saat Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari istirahat, di dalam istirahat itu beliau diingatkan Allah Swt. lewat mimpi, dimana dalam mimpi itu KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama seluruh Nusantara mengadakan shalat jama’ah. Dan ternyata dalam shalat jam’aah para ulama itu yang menjadi Imam adalah Mbah Kyai Zainuddin. Sedangkan beliau Hadhratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari berada pada barisan shof nomer 7.
Setelah terbangun, surat yang tadi sudah jadi dengan tanda tangan yang lengkap dan tinggal dikirim akhirnya tidak jadi disampaikan kepada Mbah Kyai Zainuddin. Lantas KH. Hasyim Asy’ari mengabari perihal mimpinya tersebut kepada para Kyai yang ikut menandatangani surat pernyataan di atas. Mereka semua akhirnya sepakat bahwa itu bukan wilayah mereka ngurusi (ikut campur) urusan guru mereka.
Berkat karamah yang dimiliki Mbah Kyai Zainuddin tersebut, terbukti sekarang masyarakat Mojosari Nganjuk yang tadinya 90% abangan menjadi 99% Islam dan ta’at.
Keluarbiasaan yang lain, demikian tingginya mata batin kyai Zainuddin, sehingga dia dapat mengetahui muridnya bakal menjadi ulama besar, itu terjadi pada diri Jazuli, anak Muhammad Utsman, seorang naib dari Desa Ploso, Kediri.
Konon, Jazuli sudah berada di Batavia untuk masuk Stovia, sekolah kedokteran tempo dulu. Ketika Kyai Zainuddin mengetahui hal itu, ia segera menemui ayah Jazuli dan minta agar Jazuli ditarik pulang. “Dia tidak cocok sekolah disana,” ujarnya mengingatkan.
Karena yang menyuruh adalah seorang kyai besar, Naib Utsman tidak berani menolak, dikirimnya surat ke Batavia dengan pesan agar Jazuli segera pulang atas saran Kyai Zainuddin. Jazuli sendiri ketika menerima surat itu dapat memahami keputusan tersebut dengan legawa (besar hati), meski ia telah bermukim disana selama beberapa bulan.
Kenyataannya memang demikian, Jazuli Utsman akhirnya dikenal sebagai ulama, pemimpin Pondok Pesantren Ploso,Kediri.
Suatu waktu Kyai Zainuddin mengatakan kepada Jazuli “Cepat datang ke mojosari”, sebab kala itu jazuli tinggal di luar pondok karena kemampuan finansialnya tidak mengizinkan tinggal di pondok. “saya tidak punya uang, kyai” jawab Jazuli polos. “Sudahlah, nanti kamu akan menjadi blawong” kata pak kyai.
Jazuli tidak mengerti apa arti blawong, makanya dia diam saja. Yang terpikir di benaknya adalah posisinya yang serba sulit. Kalau masuk ke pondok, kiriman uang dari rumah tidak cukup, tapi kalau tetap di luar pondok, berarti tidak taat pada gurunya. Oleh karena itu, predikat blawong hanya melintas sekilas di benaknya. Ia tahu bahwa kyai sering memanggil para santri dengan nama julukan daripada nama sebenarnya. Dan julukan itu dibuat sang kyai sesukanya sendiri. Namun hal itu bukan di anggap kelakar, karena di yakini dapat menembus hal-hal yang bersifat batiniah, termasuk masa depan santrinya.
Rupanya permintaan Kyai Zainuddin agar Jazuli pindah ke pondok, bukan basa-basi. Sampai tiga kali hal itu di kemukakan, sehingga akhirnya Jazuli tinggal di pondok menanti perintah gurunya. Ia di tempatkan disebuah kamar bersama tiga santri lainnya yang merupakan murid-murid kesayangannya. Kelak, mereka ini menjadi kyai yang sukses di desanya masing-masing.
Nama Kyai Jazuli Utsman sangat terkenal, dan jauh-jauh hari telah di ketahui oleh Kyai Zainuddin bahwa ia bakal menjadi seorang ulama besar, dengan menjulukinya blawong, ternyata blawong adalah nama panggilan seekor burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu di kerajaan Majapahit, sehingga semua orang menyimak kicaunya. Ketenaran Kiai Zainuddin menjadi daya tarik masyarakat awam untuk datang ke pesantrennya. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru, minta doa dan berkah serta keselamatan.
Tugas UAS Sejarah Peradaban Islam
Nama  :  Muhammad Subhan Yusuf
Kelas  :  KPI 1-B
Nim    :  12305183067

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mbah Mesir : Tokoh Dibalik Tradisi Syawalan di Durenan Trenggalek

SEJARAH PERADABAN ISLAM MASUK DI KABUPATEN MADIUN

Sejarah Perkembangan Islam Di Jombang