Sunan Kuning dan Islamisasi di Tulungagung
Sunan
Kuning dan Islamisasi di Tulungagung
Meneliti dan mengamati
beberapa situs benda cagar budaya Islam, dapat digunakan untuk melacak proses
islamisasi di suatu daerah. Berdasarkan data-data yang ada tersebut nantinya
dapat digunakan untuk menelusuri dan menganalisa kapan dan bagaimana proses
islamisasi di suatu daerah.Melacak masuknya ajaran agama Islam, merupakan suatu
pekerjaan yang sulit dan membutuhkan keuletan, ketelitian, dan waktu yang cukup
lama.
Sebagaimana untuk
mengetahui proses masuknya agama Islam ke wilayah kadipaten Ngrowoini, yang
sekarang menjadi kabupaten Tulungagung. Yang dapat menjadi bukti dan referensi
telah terjadi proses islamisasi di kabupaten ini. Sebagaimana Masjid tiban Sunan Kuning terletak di desa Macanbang
kecamatan Gondang kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Masjid yang terdapat
makam di sebelahnya (makam Sunan Kuning) berada di tengah- tengah pemukiman
penduduk, dikelilingi oleh pagar batu bata setinggi 1,5 meter, panjang 55 meter
dan lebar 45 meter. Di sebelah barat dan selatan masjid Sunan Kuning terdapat
pemakaman umum, diantaranya makam Sunan Kuning yang mempunyai nama asli Zaenal
Abidin, dan dikelilingi oleh makam sahabat-sahabatnya.
Di sebelah masjid ini
terdapat bangunan berbentuk bangunan joglo untuk makam Sunan Kuning yang juga
baru saja dibangun oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadapnya
melalui dana swadaya. Sedangkan kijingan dan batu nisannya diganti dengan batu
marmer.
Menurut cerita panitia,
batu marmernya didatangkan dari Campurdarat. Sedangkan masjidnya sekarang sudah
dipugar / direnovasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung dengan
kucuran dana 100 juta rupiah dari anggaran pembangunan tahun 2004. Karena
termakan usia kondisi masjid sudah rusak berat, sehingga bangunan aslinya sudah
diganti dengan bahan-bahan baru, namun bentuk dan luas masjid masih tetap sama
dengan bangunan aslinya.
Sebelum dilakukan
pemugaran masjid Sunan Kuning, sempat terjadi perbedaan pendapat antara
kelompok yang masih mempertahankan keaslian masjid dengan kelompok yang
menginginkan pembaharuan masjid yang sudah tua.
Bagi yang menginginkan
masjid Sunan Kuning tetap seperti apa adanya berdalih jika masjid dipugar dan
diganti dengan bangunan baru akan kehilangan rasa magisnya dan bisa berakibat
sepinya orang yang melakukan i’tikaf di dalam masjid. Karena bagaimanapun, kuat
dan baiknya bangunan baru tetap berbeda dengan bangunan yang dibuat oleh
seorang wali, Sunan Kuning.
Sedangkan bagi yang
menginginkan pemugaran masjid berpendapat nilai magis masjid bukan terletak di
bangunannya, tapi pada letaknya. Jadi seandainya masjid Sunan Kuning direnovasi
tidak akan mempengarui nilai magis selama tidak dipindah letaknya. Dan
nyantanya, walaupun sudah dipugar, sampai saat ini juga masih banyak peziarah,
maupun yang i’tikaf di masjid ini.
Di dalam makalah “Sejarah
Hutan Semampir Tahun 1800”, yang ditulis oleh Ngabdul Rasyid, Sunan Kuning
memiliki nama asli Zaenal Abidin Putro yang merupakan keponakan Sunan Kudus dan
menantu Sunan Ampel, tinggal serta berdakwah di dusun Krajan desa Macanbang
kecamatan Gondang. Beliau wafat dan dimakamkan di barat masjid tiban Macanbang.
Tahun 1478- 1550 Jw
(1553-1625 M), Sunan Ampel mengembangkan wilayah penyebaran Agama Islam sampai
di daerah Ludoyo Blitar. Di Ludoyo ada seorang tokoh masyarakat bernama Ki
Gawong yang memiliki kasekten dan murid banyak sekali. Pada waktu diadakan
musyawarah antara pengikut Sunan Ampel dan Ki Gawong beserta murid- muridnya
terjadi ketidaksepahaman antara dua kelompok tersebut dan pada akhirnya terjadi
perselisihan dan peperangan. Peperangan antara dua kelompok tersebut
dimenangkan oleh Ki Gawong dan murid-muridnya.
Setelah pengikut Sunan
Ampel kembali ke Surabaya, ia mendapat petunjuk agar putrinya, Siti Nuriyah,
dijodohkan dengan Sunan Kuning yang kelak dapat mengalahkan Ki Gawong di
Ludoyo. Setelah menjadi menantu Sunan Ampel, Sunan Kuning mendapat tugas ke
Ludoyo menaklukkan Ki Gawong dan ternyata berhasil mengalahkan Ki Gawong
beserta murid-muridnya serta meng-islamkannya.
Ketika Sunan Kuning dan
Ki Gawong beserta murid-muridnya pergi ke Surabaya untuk melaporkan kepada
Sunan Ampel, di tengah perjalanan istirahat di hutan Semampir (Kediri) untuk
makan dan minum. Minuman yang diberikan Sunan Kuning oleh Ki Gawong diberi
racun hingga menewaskannya. Akhirnya jenazah Sunan Kuning oleh murid- muridnya
dibawa kembali/ pulang ke Desa Macanbang Kecamatan Gondang Tulungagung dan
dimakamkan di barat masjid tiban Macanbang.
Namun ada yang menduga
bahwa sesungguhnya jenazah Sunan Kuning tidak dibawa kembali oleh murid-muridnya
ke Macanbang Gondang Tulungagung, tapi dimakamkan di makan Setono Gedong
Kediri. Sedangkan makam yang ada di Macanbang sekarang ini hanyalah
petilasannya saja. Makam yang sesungguhnya ada di Setono Gedong dekat masjid
tiban yang belum jadi.
Di dalam buku “Sejarah
dan Babat Tulungagung”, tahun 1971, ta’mir masjid Sunan Kuning menyatakan bahwa
masjid Sunan Kuning ditemukan oleh menantu Kyai Ageng Muhammad Besari
Tegalsari, Jetis, Ponorogo ketika menjalankan misinya menyebarkan Agama Islam.
Kyai Ageng Muhammad
Besari adalah ulama Ponorogo yang mendapat hadiah tanah perdikan mutihan
(perdikan kaum santri) dari Sunan Pakubuwono II karena jasanya membantu Sunan
Pakubuwono II ketika melarikan diri dari Keraton Surakarta akibat geger pecinan
(pemberontakan orang- orang Cina) tahun 1743. Sunan Pakubuwono II memerintah
Keraton Surakarta tahun 1727- 1749.
Sebagai bukti penghargaan
dan penghormatan masyarakat Macanbang terhadap tokoh Sunan Kuning dibentuklah
takmir masjid dan juru kunci makam untuk mengelola makam dan masjid serta untuk
melestarikan kesejarahannya.
Nama: Reza Pradana
Nim :12305183070
Kelas: KPI 1/B
Komentar
Posting Komentar