SEJARAH PERADABAN ISLAM ISLAMISASI KOTA REOG PONOROGO
SEJARAH
PERADABAN ISLAM
ISLAMISASI
KOTA REOG PONOROGO
A. Sejarah
berdiri
Menurut
babad alas berdirinya Ponorogo bermula dari keberhasilan Raden Bathara Katong menguasai
wilayah wengker dan untuk sementara bertempat tinggal di Kutu (Surukubeng), ia
berencana mengutus Tumenggung Selo Aji untuk melaporkan perkembangan Wengker
kepada ayahandanya yakni Prabu Brawijaya V.
Akan tetapi utusan dari majapahit datang dengan membawa payung “Songsong
Tunggali Nogo” dan pusaka “Kyai Wuluh Sanggar” yang pada saat itu bermakna
lambang kekuasaan dan kebesaran Majapahit. Kedua benda tersebut diserahkan
kepada Raden Bathara Katong dan diberitahukannya bahwa Majapahit sudah
jatuh ketangan Prabu Girindrawardhana
serta pemerintahan dipusatkan di Keling/Kediri. Mengetahui hal tersebut Bathoro
Katong ingin balik menyerang Majapahit, tetapi niat tersebut diurungkan atas
saran dari Tumenggung Selo Aji.
Kemudian
Raden bathara katong memindahkan pusat pemerintahan dari Surukubeng ke kadipaten
yang dahulu disebut sebagai Goa Sigolo-golo. Pada tempat tersebut ia pernah
mencapai kemenangan merebut kembali wilayah Majapahit dari tangan Ki Ageng
Putu, di tempat itu pula Bathara Katong mimpi bertemu kembali dengan Ki Ageng
Prena (Pangeran Pandan Alas, Brawijaya IV). Sekitar tahun 1468 ia membabat
hutan untuk dijadikan Kota yang sekarang menjadi Desa Kadipaten. Selama satu
tahun berdirinya kadipaten Ponorogo segala kebutuhan dibantu oleh kerajaan
Demak. Banyak santri yang pindah ke Ponorogo untuk pengembangan islam di kota
tersebut. kota kadipaten yang pertama terletak di kediaman Raden Bathara
Katong, tepatnya dukuh Tinggen sebelah barat Pasarean. Dari Wengker kemudian
berubah nama menjadi Ponorogo yang berasal dari kata PONO berarti sadar atau
selesai dan ROGO yang berarti badan. Jadi, makna dari Ponorogo adalah sadar
akan diri sendiri, dengan nama tersebut diharapkan masyarakatnya sadar akan
dirinya sendiri yang saat ini selaras dengan islam yang tidak memaksa melainkan
selaras dengan kesadaran diri. Hari jadi kota Ponorogo di tetapkan pada tanggal
11 Agustus 1496 atau 1 syuro.
B. Ponorogo Sebelum Islam Datang
Sebelum
islam datang, kondisi sosial masyarakat Ponorogo dari kerajaan Kanjuruhan
sampai Majapahit banyak dipengaruhi oleh kepercayaan asli Hinduisme dan
Budhaisme. Hal ini dapat dilihat dari tatanan masyarakat saat itu yang dikenal
dengan istilah “Catur Warna” atau pembagian masyarakat berdasarkan kasta antara
lain kelas Brahmana, kelas Ksatria, kelas Waisa, kelas Sudra. Keberadaan penggolongan
tersebut sebagai pengaruh kebudayaan Hindu yang di bawa oleh Ki Ageng Ketut
Suryangalam, ia adalah salah satu pembesar kerajaan Majapahit yang memilih
meninggalkan kerajaan karena ketidakpuasan terhadap sikap Brawijaya V. Oleh
sebab itu, ia memilih daerah Wengker ( Ponorogo) sebagai tempat pengembangan
Hindu.
Pengaruh
kepercayaan Hindu yang berkembang di pusat kerajaan Majapahit sampai di
Ponorogo, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan
arkeologis berupa benda purbakala bercorak Hindu. Peninggalan tersebut yakni
sebuah arca Siwa, 3 buah arca Dirga, 5 arca Ghanesa, 2 arca Nandi, sepasang
lingga Yoni dll. Selain itu, ditemukan peninggalan lain di makam Bathara Katong yang berupa petunjuk
angka tahun kapan ia mendirikan kadipaten Ponorogo. Di depan gapura pertama
berdaun pintu terdapat sepasang batu menyerupai tempat duduk yang menurut
tradisi disebut Batu Gilang dengan sengkalan memet dari belakang ke depan
berupa : manusia,pohon,burung dan gajah.
Gapura/
pintu masuk makam Raden Bathara Katong Ponorogo
C. Proses
Islamisasi Ponorogo
Berkembangnya
agama islam di Ponorogo tidak lepas dari ekspansi kekuasaan kesultanan Demak
serta peran dari Raden Bathara Katong ketika dinobatkan menjadi Adipati daerah
Ponorogo yang sebelumnya adalah Bumi Wengker. Bathara Katong sendiri adalah
pendiri Ponorogo yang merupakan anak dari Raja Majapahit yakni Brawijaya V. Bukti-bukti
mengenai berkembangnya islam di Ponorogo diantaranya adalah Masjid pertama yang
didirikan oleh Bathara Katong untuk mengenalkan dan juga menyebarkan agama
islam. Selain itu, masjid tertua di Desa
Mirah Kecamatan Sumoroto yang didirikan oleh
Kyai Mirah untuk menyebarkan islam di daerah bekas kerajaan Wengker. Disamping
itu, terdapat banyak pula peninggalan-peninggalan yang menunjukkan akulturasi
antara Hindu-Budha dengan Islam di sekitar makam Bathara Katong. Saluran-
saluran islamisasi :
Kesenian Reog Ponorogo
sebagai sarana dakwah
1.
Saluran
kesenian Reog
Kesenian Reog
sangat mengakar didalam masyarakat Ponorogo. Oleh sebab itu, Bathara Kathong
memilih kesenian Reog sebagai media dakwahnya dalam menyebarkan islam. Musik
gamelan yang awalnya digunakan oleh Ki Ageng Kutu untuk adu kekuatan dan
kesaktian dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengumpulkan masyarakat karena
suaranya yang keras dan nyaring. Setelah berkumpul ia mulai memasukkan
unsur-unsur islam dengan menujukkan makna dari setiap gamelan yang digunakan
untuk mengiringi Reog.
2.
Saluran
perkawinan
Islamisasi di
Ponorogo terjadi melalui perkawinan seperti yang dilakukan oleh Bathara Katong
dengan beberapa perempuan. Menurut babad Bathara Katong memiliki 5 orang istri
yang masing-masing diantaranya adalah putri dari musuhnya sendiri yakni Niken
Gandhini putri dari Ki Ageng Kutu.
3.
Saluran
politik
Bathara katong
menggunakan politik dalam mengislamkan Ponorogo dengan 2 cara yaitu pertahanan
diri dan juga aliansi.
4.
Strategi
kultural
Dengan
terjadinya perombakan agama seta semakin terkikisnya kebudayaan Hindu-Budha
maka masyarakat berusaha mencari suatu pegangan atau penguat bagi kebudayaan
yang menurut mereka sudah tidak mampu mengayomi. Dengan datangnya agama dan
kebudayaan baru menurut masyarakat bisa diterima dengan baik maka islam mudah
masuk dan berkembang khususnya di Ponorogo yang ketika itu pemimpin dari daerah
tersebut ( Bathara Katong) telah menganut agama islam dan berusaha untuk
menyisipkan agama islam kedalam kebudayaan yang telah mengalami masa peralihan
tersebut.
D. Kondisi Ponorogo Setelah Islam Datang
Islam
masuk ke Ponorogo dengan jalan damai, sebagai hasil usaha Raden Bathara Katong
dibantu sahabatnya Ki Ageng Mirah dan Patih Selo Aji. Meskipun pada awal
masuknya terjadi peperangan antara pasukan Bathara Katong dengan para penentang
islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Suryangalam.
Pada
awal perkembangannya Raden Bathara Katong hanya berdakwah dilingkungan
pemerintahan kemudian mulai meluas pada rakyat sekitar Pemerintahan. Dalam
menyebarluaskan agama islam di Ponorogo, beliau menggunakan strategi, taktik
dan cara-cara tersendiri meskipun cari ini banyak diilhami dari para Wali
Sanga. Penyebaran islam sendiri dilakukan dengan pendekatan sosio-theologis
yakni mempertahankan kondisi masyarakat dan kepercayaan yang ada. Seiring
menempuh cara-cara penyesuaian diri dan kebiasaan masyarakat, misalnya upacara
slametan Nyandran yang dilakukan di bulan Sya’ban berasal dari pesta srada yaitu pemujaan arwah
pada zaman Majapahit. Demikan pula kata “ pasa” untuk istilah puasa dalam islam
diserap dari bahasa sansekerta.
Hasil
penyebaran islam dapat dirasakan di seluruh wilayah Ponorogo. Dari penyebaran
yang ada, hanya menyisakan beberapa kelompok yang masih memeluk agama
Hindu-Budha. Walaupun islam membawa banyak perubahan tetapi masih
mempertahankan kebudayaan asli masyarakat sebagai simbol peradaban dari
abad-abad yang lalu. Hasil kebudayaan sebagai wujud adanya penyebaran islam di
Ponorogo dapat dilihat pada peninggalan-peninggalan sebagai berikut :
1.
Seni
Bangunan
Corak
bangunan-bangunan di Ponorogo setelah datangnya islam merupakan pengembangan
dari corak bangunan yang telah ada dan dipengaruhi oleh kepercayaan hindu.
Corak bangunan ini sebagai akulturasi antara Hindu-Islam. Seperti bangunan
masjid yang memiliki atap tumpang, memiliki menara dan terletak di pusat kota
tepatnya di sebelah alun-alun.
Masjid Tegalsari akulturasi
Hindu-Islam di Ponorogo
2.
Tradisi
grebeg suro
Tradisi grebeg
suroadalah serangkaian upacara yang diadakan masyarakat Ponorogo untuk
memperingati hari besar 1 muharram yang bertepatan dengan 1 asyura’. Tradisi
inimemiliki makna tersendiri bagi masyarakat setempat. Grebeg suro merupakan
sesuatu yang sakral dan tidak bisa ditinggalkan, hal ini dimaksudkan untuk
memperingati dan mengenang jasa Raden Bathara Katong sebagai pendiri Kota
Ponorogo. Grebeg suro ini digunakan sebagai sarana dakwah islam.
Tradisi grebeg suro yang
diperingati setiap tahun
NAMA
: DILAWATI
FAKULTAS/JURUSAN
: FUAD/KPI-1B
MATKUL:
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Komentar
Posting Komentar